Minggu, 30 Mei 2010

PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM KEPENDIDIKAN

Pengembangan SDM Berkualitas dalam Rangka Perwujudan Profesionalisme Guru di Era Kontemporer

Pendahuluan
Pendidikan dan guru adalah ibarat sekeping mata uang logam yang saling berkaitan satu sama lain. Kita bisa mengkajinya secara terpisah tapi harus melihatnya sebagai satu kesatuan. Sejarah pendidikan di berbagai negara telah memberikan bukti kuat bahwa kompetensi seorang guru begitu mempengaruhi terhadap output yang dihasilkan. Framework berfikir bahwa sentuhan psikologis yang dimiliki oleh seorang pendidik akan membawa efek positif yang mampu mempengaruhi seorang anak didik untuk mau belajar secara intensif dan memiliki rasa percaya diri dalam beadaptasi dengan teman-temannya.
Kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru adalah tidak lahir begitu saja, namun itu diperoleh dengan proses waktu yang lama dan penggemblengan yang intensif, seperti dari banyaknya referensi yang dibaca dan luasnya experience (pengalaman) yang dimiliki. Referensi dan experience itulah yang membawa seorang pendidik ke arah yang dimaksud yaitu menghadirkan lulusan-lulusan atau SDM yang siap berkompetisi baik ditingkat nasional dan internasional.

1. Profesionalisme Guru
Merencanakan suatu pendidikan masa depan yang baik adalah dengan membangun dan meningkatkan kualitas guru. Membangun dan meningkatkan kualitas guru artinya mengarahkan para guru pada profesionalitas yang diharapkan (actual profesionality). Pekerjaan seorang guru adalah sebuah profesi yang mulia, yaitu mulia disisi manusia dan mulia disisi Tuhan, karena guru mengemban amanah sesuai dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu “…turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Menurut Endang Komara, (2006:1) guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Adapun pengertian profesi Mc Cully (dalam A.Tabrani Rusyan 1992:4) mengatakan “Profesi adalah a vocation an wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it”. Sedangkan pengertian profesionalime, Freidson (dalam Syaiful Sagala, 2000:199) berpendapat bahwa, “profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”.
Dengan begitu dapat kita mengerti sebuah profesi pekerjaan untuk menjadi professional dituntut untuk mampu memiliki kualitas intelektual dan kemahiran yang sesuai dengan standar mutu yang disyahkan oleh lembaga yang bersangkutan, serta lebih jauh siap mempertanggungjawabkan pekerjaan tersebut dengan cara-cara yang professional pula. Sikap professional saat ini dikenal dengan istilah management professional, maka dengan begitu guru professional adalah seorang guru yang menerapkan konsep management professional dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, begitu pula sebaliknya jika seorang guru tidak menerapkan konsep management professional maka artinya guru yang bersangkutan tidak professional.
Hubungan antara professional dan profesi dalam konteks pekerjaan Wina Sanjaya (2005:142-143): mengatakan :
1) Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah;
2) Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas;
3) Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya;
4) Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Pekerjaan seorang guru adalah sebuah pekerjaan yang berprofesi khusus (special profesion) yaitu mendidik dan mengayomi seorang anak didik dari kondisi tidak mengerti atau kurang mengerti kearah yang lebih baik. Penegasa pekerjaan guru adalah sebuah pekerjaan yang khusus juga ditegaskan dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional. Karena kita melihat pekerjaan seorang guru adalah sangat spesifik atau khusus maka untuk mendorong kearah spesialisasi yang lebih dalam adalah dengan mensertifikasikan para guru secara profesional.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam hal ini Departement Pendidikan untuk meningkatkan dan menerapkan suatu management profesional bagi para guru di Indonesia adalah dengan mengharuskan para guru memiliki dan mengikuti sertifikasi guru. Dalam pasal 1 butir (11) UUGD (Undang-undang Guru dan Dosen) disebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.
Tentunya bagi seorang guru yang menginginkan terjadinya peningkatan kompetensi akdemik akan mempersiapkan diri secara utuh untuk memperoleh sertifikasi tersebut. Dalam salinan pada lampiran peranturan menteri pendidikan nasional nomor 27 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dijelaskan bahwa kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi:
(a) memahami secara mendalam konseli yang dilayani,
(b) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
(c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan
(d) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
Didepan anak didiknya seorang guru terposisikan dirinya sebagai key person (pemegang kunci). Menurut Hasibuan (1986:41-42) sebagai key person guru harus melaksanakan perilaku-perilaku mengenai:
(1) kejelasan dalam menyampaikan informasi secara verbal maupun non verbal,
(2) kemampuan guru dalam membuat variasi tugas dan tingkah lakunya,
(3) sifat hangat dan antusias guru dalam berkomunikasi,
(4) perilaku guru yang berorientasi pada tugasnya saja tanpa merancukan dengan hal-hal yang bukan merupakan tugas keguruannya,
(5) kesalahan guru dalam menggunakan gagasan-gagasan yang dikemukakan siswa dan pengarahan umum secara tidak langsung,
(6) perilku guru yang berkaitan dengan pemberian kesempatan kepada siswanya dalam mempelajari tugas yang ditentukan,
(7) perilaku guru dalam memberikan komentar-komentar yang terstruktur,
(8) perilaku guru dalam menghindari kritik yang bersifat negatif terhadap siswa,
(9) perilaku guru dalam membuat variasi keterampilan bertanya,
(10) kemampuan guru dalam menentukan tingkat kesulitan pengajarannya, dan
(11) kemampuan guru mengalokasikan waktu mengajarnya sesuai dengan alokasi waktu-waktu dalam perencanaan satuan pelajaran.
Untuk mewujudkan seorang guru yang professional kita harus mengarahkan seorang guru ke arah kompetensi. Adapun pengertian kompetensi Lefrancois (1995:5) berpendapat “kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar.” Dalam mewujudkan seorang individu yang berkompetensi maka individu yang bersangkutan harus memiliki sifat aktif atau dinamis dalam mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. Ini sebagaimana dikatakan oleh Richard N. Cowell (1988:95-96) bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif.
Lebih tegas Cowell (1988:101) mengatakan bahwa kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks yang pada gilirannya akan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar, yang lazimnya terdiri dari:
(a) penguasan minimal kompetensi dasar,
(b) praktik kompetensi dasar, dan
(c) penambahan penyempurnaan atau pengembangan terhadap kompetensi atau keterampilan.
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 dijelaskan bahwa : Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Menurut Adlan (2000:23) kompetensi seorang guru dibagi dalam tiga bagian yaitu:
a. Kompetensi kognitif, yaitu kemampuan dalam bidang intelektual, seperti pengetahuan tentang belajar mengajar, dan tingkah laku individu,
b. Kompetensi afektif, yaitu kesiapan dan kemampuan guru dalam berbagai hal yang berkaitan dengan tugas profesinya, seperti menghargai pekerjaannya, mencintai mata pelajaran yang dibinanya, dan
c. Kompetensi perilaku, yaitu kemampuan dalam berperilaku, seperti membimbing dan menilai.
Adapun menurut Nana Sudjana (1989:17) bahwa ada empat kompetensi guru:
(a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia,
(b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya,
(c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya, dan
(d) mempunyai keterampilan teknik mengajar.
Sehingga berdasarkan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa guru yang professional adalah seorang guru yang memiliki nilai-nilai kompetensi yang sesuai dengan yang digariskan dalam kaidah-kaidah dan peraturan yang menyangkut dengan sertifikasi guru tersebut. Ini sebagaimana dijabarkan oleh Nanang Fatah (2004:78) mengenai guru yang professional adalah:
(1) Mampu menguasai substansi mata pelajaran secara sistematis, khususnya materi pelajaran yang secara khusus diajarkannya. Disamping itu ia juga dituntut untuk berupaya mengikuti perkembangan materi pelajaran tersebut dari waktu ke waktu.
(2) Memahami dan dapat menerapkan psikologi perkembangan sehingga seorang guru dapat memilih materi pelajaran berdasarkan tingkat kesukaran sesuai dengan masa perkembangan peserta didik yang diajarkan.
(3) Memiliki kemampuan mengembangkan program-program pendidikan yang secara khusus disusun sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang akan diajarnya. Program pendidikan ini dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan dengan mengkombinasikan antara pilihan materi pelajaran, tingkat perkembangan peserta didik. Keahlian dalam mengembangkan program pengajaran inilah yang bisa kita identifikasikan sebagai pekerjaan profesional seorang guru yang tidak bisa dilakukan oleh profesi lain.
Kebijakan memiliki guru yang berprofesi secara professional adalah merupakan sebuah langkah modern guna menghasilkan out put atau lulusan yang memiliki kompetensi tinggi. Karena kita harus melihat sebuah sinergi kuat yang saling mendukung dalam mewujudkan dunia pendidikan yang berkapasitas tinggi adalah dengan mengawalinya pada guru yang professional.

2. Pengembangan SDM dan Sertifikasi Guru
Mewujudkan para guru memiliki sertifikasi dalam bidangnya adalah sebuah langkah maju guna memajukan dunia pendidikan di tanah air. Kepemilikan sumber daya manusia (SDM) yang maksimal memungkinkan para guru untuk menjadi professional dalam bidangnya. Sehingga sangat penting bagi pemerintah menegaskan apa dan bagaimana sumberdaya pendidik itu akan dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan atau dalam dalam kata lain seperti apa sertifikasi bagi para guru itu akan kita tawarkan.
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Dimana lebih tegas pada pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa:
1. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik.
2. Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio.
3. Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
a. kualifikasi akademik;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pengalaman mengajar;
d. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. penilaian dari atasan dan pengawas;
f. prestasi akademik;
g. karya pengembangan profesi;
h. keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
4. Guru dalam jabatan yang lulus penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat sertifikat pendidik.
5. Guru dalam jabatan yang tidak lulus penilaian portofolio dapat:
a. melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau
b. mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian;
6. Ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
7. Guru dalam jabatan yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b mendapat sertifikat pendidik.
8. Guru dalam jabatan yang belum lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diberi kesempatan untuk mengulang ujian materi pendidikan dan pelatihan yang belum lulus.

Ujian sertifikasi yang diberikan kepada para guru adalah memiliki bebagai efek positif bagi pendidikan di Indonesia, yaitu:
(a) Memfungsikan para guru sebagai pengontrol mutu pendidikan di lembaga pendidikan
(b) Memposisikan diri guru menjadi jauh lebih terhormat dan mulia
(c) Menjauhkan profesi guru dari praktik-praktik yang bersifat tidak sehat dan mencemarkan nama baik guru
(d) Mensistematiskan peningkatan kualitas pendidikan di tanah air karena telah memprogramkan peningkatan kualitas guru secara terprogram
(e) Menghasilkan guru sesuai dengan kompetensi dan keahlian yang dimilikinya
(f) Memberikan rasa percaya diri dikalangan para guru untuk tampil sebagai pendidik dan pemikir bagi pengembangan dunia pendidikan di tanah air
(g) Menghasilkan guru yang professional pada bidangnya

3. Profesionalisme dan Kompensasi bagi Guru
Mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam salah satu wawancaranya dengan Televisi Pendidikan (TPI) tanggal 16 Agustus 2004, menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam pembangunan pendidikan sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang perlu mendapat perhatian, yakni:
(a) sarana gedung,
(b) buku yang berkualitas,
(c) guru dan tenaga kependidikan yang profesional.
Namun jika kita kaji secara lebih seksama bahwa penciptaan guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi memiliki hubungan kuat dengan kompensasi, karena kompensasi adalah bahagian dari bentuk penghargaan secara profesional. Adapun pengertian dari kompensasi Rohmat (2007:3) menjelaskan bahwa “kompensasi juga dapat diartikan sebagai penghargaan, tidak hanya sekadar pemberian upah atau gaji akibat dari konsekuensi menjadi tenaga pendidikan atau karyawan dari sebuah organisasi pendidikan. Dan lebih jauh Martoyo (2000:46, dalam Rahmat, 2007:2) mengatakan bahwa kompensasi bagi organisasi pendidikan berarti penghargaan pada para guru atau karyawan yang telah member kontribusi dalam mewujudkan tujuannya melalui kegiatan yang disebut mengajar atau bekerja.
Pemberian kompensasi memiliki pengaruh besar pada usaha untuk membangkitkan motivasi para guru guna meningkatkan profesionalitas mereka. Sehingga yang perlu dipahami seperti apa kompensasi tersebut akan diberikan atau bagaimana bentuk kompensasi tersebut harus diterima oleh para guru.
Bentuk pemberian kompensasi dapat berbentuk kompensasi langusng dan kompensasi tidak langsung. Griffin,W.R & Moorhead (1986:446) mengatakan penghargaan atau ganjaran sebagai kompensasi dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Kompensasi langsung
Kompensasi langsung adalah ganjaran atau penghargaan yang disebut gaji/upah yang dibayar secara tetap, berdasarkan tenggang waktu yang tetap. Sejalan dengan pengertian tersebut, upah atau gaji diartikan juga sebagai pembayaran dalam bentuk tunai atau berupa natura yang diperoleh tenaga pendidikan atau karyawan untuk melaksanakan dalam melakukan proses belajar-mengajar. Kompensasi langsung disebut juga upah dasar yakni upah atau gaji tetap yang diterima pekerja/tenaga pendidikan/karyawan dalam bentuk upah bulan (salary) atau upah mingguan.
2) Kompensasi tidak langsung
Kompensasi tidak langsung adalah pemberian bagian keuntungan atau manfaat lainnya bagi para tenaga pendidikan atau karyawan di luar gaji atau upah tetap, dapat berupa uang atau barang, missal THR. Dengan kata lain, kompensasi tidak langsung adalah program pemberian penghargaan atau ganjaran dengan variasi yang luas, dapat pula berupa pemberian jaminan kesehatan, liburan, cuti, dan lain-lain.
Secara lebih dalam Gehman (1985:21) mengatakan mengenai tipe-tipe kompensasi yaitu adalah terdiri dari uang, benefit, penghasilan tambahan, dan hadiah. Dengan diberikannya kompensasi tersebut berdasarkan mekanismenya diharapkan penghargaan terhadap jerih payah para guru dalam mengembangkan lembaga pendidikan yang berkualitas untuk menghasilkan para output yang mampu berkompetisi di pasar akan terwujud. Karena bagaimanapun kita harus bisa menyimpulkan bahwa kompensasi yang pantas adalah bentuk wujud kuat dari kepedulian kita dalam menghargai semangat dan keikhlasan para guru dalam ikut turut serta mencerdaskan generasi bangsa.
Dari penjelasan diatas kita dapat memahami secara jelas bahwa peningkatan mutu guru kearah yang lebih professional sangat dipengaruhi kelayakan kompensasi (feasible compensation) yang di terimanya. Sehingga dengan perolehan kompensasi secara layak tersebut diharapkan tidak akan ada lagi muncul permasalahan dikalangan para guru tentang minim atau tidak tercukupinya gaji yang diterima.

4. Profesionalime Guru dan Globalisasi
Dalam era kontemporer guru memiliki peranan penting untuk mewujudkan cita-cita pembangunan. Dalam amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perundangan itu mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) (Kompas, 9/4/2009, hal 12). SBI disini adalah sekolah bertaraf internasional.
Mewujudkan sebuah sekolah yang bertaraf internasional adalah bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan, dimana dibutuhkan berbagai fasilitas yang mendukung baik sarana dan prasarana, terutama hadirnya peran guru secara professional dalam proses belajar dan mengajar. Menurut Emil Rosmali (2005:1) bahwa peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:
a. Demonstrator
b. Manajer/pengelola kelas
c. Mediator/fasilitator
d. Evaluator
Empat peran tersebut adalah tidak bisa dipisahkan dari posisi seorang guru dalam megawal pendidikan bangsa. Pertama Sebagai demonstrator bertugas untuk mendorong kondisi belajar dan mengajar berjalan secara penuh motivasi, baik dalam kondisi suram maupun susah. Kedua Sebagai manajer/pengelola kelas berkewajiban untuk menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam berbagai kondisi dan situasi yang terjadi di sekolah. Ketiga sebagai mediator/falitator adalah berfungsi menegahi berbagai persoalan yang terjadi dan menghambat jalannya pendidikan baik antara pihak sekolah dan orang tua murid atau juga antara orang tua murid dan pemerintah, sehingga fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang steril dan jauh dari praktik-praktik politik dan intervensi dari berbagai pihak yang tidak berkepentingan adalah tidak akan terjadi. Keempat sebagai evaluator adalah bertugas melakukan evaluasi atas berbagai tindakan belajar mengajar yang telah dilaksanakan selama ini.
Pendidikan begitu memegang peran penting dalam era globalisasi ini. Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan, dan riset (seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, China, dan Korea Selatan). Pemikiran Giddens adalah sangat relevan jika kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini yang mengalami penurunan.
Menurut hasil survei The Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) Hongkong menempatkan mutu pendidikan di Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam dari 12 negara yang disurvei. Laporan studi Bank Dunia menyatakan bahwa hasil tes membaca murid kelas IV SD di Indonesia menempati peringkat terendah di Asia Timur. Hasil The Third International Mathematic and Science Study-Repeat menunjukkan prestasi belajar siswa kelas II SLTP di Indonesia berada di urutan ke 32 untuk IPA dan ke 34 untuk Matematika dari 38 negara peserta studi (Rohmat, 2007:6). Penurunan kualitas pendidikan Indonesia juga di tegaskan oleh Laporan Bank Dunia (1999), bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan (persekolahan) di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan (Hujair, 2003:226).
Salah satu faktor menurunya kualitas SDM kita karena pendidikan kita masih belum memanfaatkan secara maksimal penggunaan teknologi informasi sebagai bahagian peningkatan kualitas dunia pendidikan secara global. Pendidikan dan teknologi adalah dua sisi yang memiliki keterkaitan kuat dalam mendorong percepatan kemajuan sosial capital suatu bangsa. Dan guru sebagai pendidik adalah sosok guru yang memahami dengan baik apa yang harus dilakukan pada era globalisasi sekarang ini. Sistem pendidikan konvensional tidak lagi bisa diterapkan secara maksimal, electronic learning atau yang biasa dikenal dengan e-learning adalah lahir sebagai bentuk tuntutan zaman dalam dunia pendidikan. Informasi dengan internet memberi kita manfaat secara cepat untuk mengetahui apa dan bagaimana teknik metode pembelajaran yang diterapkan di berbagai negara untuk kita jadikan studi banding secara cepat merekontruksi sistem pembelajaran dalam pendidikan kita.
Muhammad Fachri (2007:4) menyatakan bahwa materi pembelajaran elektronik dikatakan sebagai enrichment, apabila kepada peserta didik yang dapat dengan cepat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka (fast learner) diberikan kesempatan untuk mengakses materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka.
Dengan demikian, secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa pembelajaran elektronik (e-Learning) merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (Internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitasi serta didukung oleh berbagai bentuk layanan belajar lainnya (Brown, 2000; Feasey, 2001, dalam Muhammad Fachri, 2007:3-4).
Dengan dipakainya sistem e-learning dalam dunia pendidikan maka mengharuskan para guru untuk mampu menguasai teknologi e-learning secara maksimal. Kompetensi penguasaan teknologi yang baik dari para pendidik akan mempengaruhi kecakapan yang dimiliki oleh para peserta didik tersebut. Sehingga para pendidik diharapkan mau meningkatkan kualitas didikannya secara baik, sistematis dan suistenability (berkelanjutan) terutama melibatkan diri secara intensif untuk mempelajari e-learning secara maksimal, sebagai bentuk tuntutan kebutuhan dalam era globalisasi yang berlangsung secara cepat.

5. Simpulan dan Saran
a. Simpulan
Profesionalime seorang pendidik memiliki hubungan erat pada setiap lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Setiap anak didik memiliki bakat dan keahliannya masing-masing dan sudah menjadi kewajiban bagi seorang guru dengan segala kompetensi dan kemampuan SDM yang dimilikinya mengarahkan dan membimbing anak didik tersebut sesuai dengan yang dicita-citakanya.
Dengan diterapkannya ujian sertifikasi bagi guru sebagai syarat kearah profesionalisme juga diikuti dengan naiknya kompensasi yang akan diterima serta janji dari pemerintah menaikkan gaji guru dan dosen adalah bukan kenyataan terhadap bentuk kepedulian pemerintah dalam membangun dunia pendidikan nasional.
Kondisi kontemporer, mengharuskan para guru memiliki kompetensi dalam penguasaan teknologi informasi secara baik agar system pembelajaran e-learning memungkinkan diterapkan secara baik dan professional. Karena untuk mengejar ketertinggalan pendidikan dengan Negara lain para guru memiliki posisi penting atau kunci penentu (key person) dalam mewujudkan pendidikan yang berwawasan global dan berbudaya Indonesia.

b. Saran
Diharapkan bagi pemerintah memberi kemudahan birokrasi bagi para guru yang akan mengikuti ujian sertifikasi guru sebagai bentuk perhatian kuat dalam mendukung pendidikan Indonesia yang berkompetitif, sehingga dengan begitu diharapkan peringkat pendidikan Indonesia akan mengalami kenaikan pada tahun-tahun selanjutnya.
Para guru dalam usaha mewujudkan sisi profesionalitas dalam pekerjaannya diharuskan melakukan pengayaan secara intensif dengan cara membangun motivasi tinggi dalam belajar dan mengajar. Termasuk turut mengembangkan pemahaman dalam bidang e-learning sebagai bentuk kepedulian dalam memahami permintaan pendidikan di tingkat global.
Masyarakat, pemerintah, swasta, pemilik/pengelola sekolah serta para guru sebagai stakeholder dunia pendidikan membangun sikap yang sinergis dalam memikirkan secara intens, apa usaha-usaha yang harus dilakukan dalam mengembangkan dan mengarahkan suatu lembaga pendidikan kearah yang lebih profesionalitas.

6. Daftar Pustaka
Aidin Adlan. 2000. Hubungan Sikap Guru Terhadap Matematika dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja. Matahari No.1.
Direktorat P2TK dan KPT, Ditjen Dikti, Depdiknas R.I. 2004. Standar Kompetensi Guru Pemula PGSMK. Jakarta.
Emil Rosmali, 2005, Tugas dan Peran Guru, [http://alfurqon.or.id/index.php? option=com_content&task=view&id=58&Itemid=110].

Standar Pembiayaan Pendidikan

Konstitusi amandemen UUD l945 mengamanatkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban mengalokasikan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN dan 20% dari APBD selain gaji guru agar mutu dan pemerataan pendidikan dapat lebih ditingkatkan. Upaya peningkatan mutu dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah memerlukan adanya standar nasional bidang pendidikan. Untuk itu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. l9 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang memberikan pengaturan standar nasional pendidikan sekaligus merupakan kriteria minimal yang harus dipenuhi dalam sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2005 membawa implikasi terhadap perlunya disusun standar pembiayaan yang meliputi standarisasi komponen biaya pendidikan yang meliputi biaya operasional, biaya investasi dan biaya personal. Selanjutnya dinyatakan bahwa standar biaya-biaya satuan pendidikan ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar pembiayaan pendidikan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertaman (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di seluruh Indonesia.


Landasan Hukum
Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Bab VIII Wajib Belajar Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Secara khusus disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam APBN dan APBD.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berbasis masyarakat adalah dengan berperan serta dalam pengembangan, pelaksanaan kurikulum, dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 13 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik diatur dengan PP

Pada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terdapat kerancuan antara Bab I Pasal 1 Ayat (10) dan Bab IX Pasal 62 Ayat (1) s/d (5) tentang ruang lingkup standar pembiayaan. Ketentuan Umum tentang Standar Pembiayaan pada Pasal 1 tampak lebih sempit dari Pasal 62 yaitu standar pembiayaan pada Pasal 1 adalah mencakup standar yang mengatur komponen dan besarnya “biaya operasi” satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Pada Pasal 62 mencakup “biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal”. Pada Bab IX: Standar Pembiayaan, Pasal 62 disebutkan bahwa:
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP

Sebelum PP tentang standar pembiayaan pendidikan ini dikeluarkan, telah ada SK Mendiknas tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan (SPM) yaitu Kepmendiknas No.053/U/2001 yang menyatakan bahwa SPM bidang pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Penyusunan SPM bidang Pendidikan Dasar dan Menengah mengacu kepada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan tentang perencanaan nasional dan standarisasi nasional.

Dalam rangka penyusunan standarisasi nasional itulah, Mendiknas telah menerbitkan Keputusan No.053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang SPM yang diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan sekaligus ukuran keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah provinsi, kabupaten/kota bahkan sampai di tingkat sekolah.

Kepmendiknas No. 129/U/2004 merupakan hasil revisi dari kepmen sebelumnya sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam sistem dan manajemen pendidikan nasional. Pada kepmen ini pendidikan nonformal, kepemudaan, olahraga, dan Pendidikan Usia Dini lebih ditonjolkan. Pendidikan nonformal seperti pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan SD, SMP, SMA, pendidikan ketrampilan dan bermata pencaharian, kelompok bermain, pendidikan kepemudaan dan olahraga secara ekplisit telah ditentukan standar pelayanan untuk masing-masing SPM.

Karena standar pembiayaan juga mencakup kebutuhan atas buku teks pelajaran, maka perlu diperhatikan Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yaitu Pasal 7: satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun dan buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila ada perubahan standar nasional pendidikan dan buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri. Pada Pasal 8 ditegaskan bahwa: guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran; anjuran sebagaimana dimaksud bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan; untuk memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau orangtua/walinya membelinya di pasar; untuk membantu peserta didik yang tidak mampu memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi perpustakaannya.

Sistem Pembiayaan Pendidikan

Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan cara: i) menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf; ii) distribusi alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya.

Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan, tanggungjawab orang tua dalam menyekolahkan vs social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan.

Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi tiap sekolah berbeda.

Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa melihat konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:
• Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan
• Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik
• Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan
• Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung pembiayaan sekolah

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus dapat dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii) bagaimana sumber daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan/tipe sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria untuk menganalisis setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan ii) keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang seimbang.

Menurut J. Wiseman (1987) terdapat tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan:
• Kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumberdaya manusia/human capital
• Pembiayaan pendidikan terkait dengan hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan
• Pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan

Dalam hal pendidikan kejuruan dan industri, M. Woodhall (1987) menjelaskan bahwa di masa lalu pembiayaan pendidikan jenis ini ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan memberi subsidi kepada para pekerjanya sendiri. Sekarang peran pemerintah semakin besar dalam pembiayaan ini. Hal itu disebabkan adanya kepentingan ekonomi. Artinya kebijakan ketenagakerjaan, diharapkan dapat meningkatkan kepentingan untuk membagi biaya dan manfaat dari pendidikan ini dengan adil.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kejuruan ini adalah:
• Peran pemerintah dalam membiayai jenis pendidikan ini
• Perbedaan antara jenis training yang umum dan spesifik
• Pilihan antara training yang on dan off the job
• Keseimbangan antara pembiayaan dari pemerintah dan sektor swasta di pendidikan ini
• Pentingnya praktek kerja sebagai kelanjutan dari jenis pendidikan ini
• Pembayaran kompensasi selama mengikuti pendidikan ini
• Sumber daya yang dialokasikan untuk jenis pendidikan ini



2.2 Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)

Pengukuran biaya pendidikan seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada namun secara bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan pelayanan pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting karena memasukkan berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan pendidikan. Sehingga berdasarkan berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan tersebut dapat ditunjukkan adanya variasi biaya pendidikan yang cukup ideal untuk mencapai standar kualitas tersebut. Analisis kecukupan biaya pendidikan ini telah digunakan di beberapa negara bagian Amerika Serikat untuk mengalokasikan dana pendidikan. Berbagai studi di Indonesia telah pula mencoba memperhitungkan biaya pendidikan berdasarkan standar kecukupan.

Perhitungan biaya pendidikan berdasarkan pendekatan kecukupan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:
• Besar kecilnya sebuah institusi pendidikan
• Jumlah siswa
• Tingkat gaji guru (karena bidang pendidikan dianggap sebagai highly labour intensive)
• Rasio siswa dibandingkan jumlah guru
• Kualifikasi guru
• Tingkat pertumbuhan populasi penduduk (khususnya di negara berkembang)
• Perubahan dari pendapatan (revenue theory of cost)

Komponen Perhitungan Standar Biaya Operasi

Menurut PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.

Sementara itu, menurut Ayat (4) Pasal 62 PP No. 19 Tahun 2003, biaya operasi satuan pendidikan meliputi biaya berikut.
a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai.
c. biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lainnya.

Walaupun dalam pasal ini biaya operasi hanya didefinisikan ke dalam tiga kelompok biaya, namun ada sebagian biaya investasi yang juga dapat dikeluarkan setiap tahun yaitu biaya depreasiasi (sebagai penyisihan dari investasi) dan dapat bersifat tunai. Dana ini merupakan penyisihan untuk investasi di masa yang akan datang misalnya dana untuk pembelian buku (karena buku diasumsikan berusia 5 tahun, dana tersebut dapat dibelanjakankan per tahun sejumlah 20% dari dana keseluruhan), dana untuk memperbaharui gedung maupunperalatan. Penggunaan dana depresiasi ini dapat berupa pembangunan gedung baru atau renovasi berat gedung lama, maupun pembelian peralatan baru. Namun perhitungan biaya investasi tidak diperhitungkan dalam Standar Biaya Operasi Pendidikan.

Untuk keperluan perhitungan standar biaya operasi dalam naskah ini, biaya operasi dibagi ke dalam dua kelompok, menjadi biaya pegawai dan biaya bukan-pegawai. Perhitungan standar biaya operasi ini didasarkan pada kebutuhan biaya minimal untuk menyelenggarakan kegiatan sekolah. Standar biaya operasi disusun berdasarkan peraturan yang berlaku serta masukan dari berbagai tim standar pendidikan lainnya.

3.3.1 Biaya Pegawai

Sesuai dengan UU No.14 Tahun 2005, biaya pegawai dibagi menjadi dua kelompok: (i) Gaji pokok serta tunjangan yang melekat pada gaji, (ii) Penghasilan lain yang terdiri atas: tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan Maslahat Tambahan.

Gaji Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Segala Tunjangan yang Melekat pada Gaji
Ayat (6), Pasal 1, Bab I UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan batasan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Sedangkan, batasan tenaga kependidikan sebagaimana Ayat (6), Pasal 1, Bab I UU No. 20 Tahun 2003 adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, Ayat (1) Pasal 35 PP No. 19 Tahun 2005 menjelaskan tenaga pendidikan sebagai berikut.

 Tenaga kependidikan pada TK/RA atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala TK/RA dan tenaga kebersihan.
 Tenaga kependidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.
 Tenaga kependidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat atau SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga adminstrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.
 Tenaga kependidikan pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga adminstrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.
 Tenaga kependidikan pada SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga adminstrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja sosial, dan terapis.
 Tenaga kependidikan pada Paket A, Paket B dan Paket C sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga adminstrasi, dan tenaga perpustakaan.
 Tenaga kependidikan pada lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola atau penyelenggara, teknisi, sumber belajar, pustakawan, dan laboran.

Seiring dengan telah disetujuinya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pengertian gaji dan tunjangan meliputi:
 Gaji pokok , besarnya gaji pokok mengikuti aturan menteri keuangan tentang gaji PNS
 Tunjangan yang melekat pada gaji, yang meliputi tunjangan: (i) isteri/suami 10%, (ii) anak 2% dengan batas maksimal dua orang anak hingga usia 21 tahun atau belum pernah menikah atau belum berumur 25 tahun kuliah dan belum pernah menikah, (iii) jabatan, (iv) beras, dan (v) khusus, yakni diberikan sebagai pengganti apabila yang bersangkutan terkena pajak penghasilan sejumlah potongan yang terkena pajak

Penghasilan lainnya
 Tunjangan profesi: tunjangan profesi diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan/satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Besarnya tunjangan setara dengan satu kali gaji pokok guru.
 Tunjangan fungsional: tunjangan yang diberikan kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Besar tunjangan mengikuti subsidi yang dialokasikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
 Tunjangan khusus: tunjangan yang diberikan kepada guru yang bertugas di daerah khusus. UU No. 14 Tahun 2005, Pasal 1, Ayat 17, menjelaskan bahwa daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
 Maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.


3.3.2. Biaya Bukan-Pegawai

Biaya bukan-pegawai terdiri atas: (i) Alat Tulis Sekolah (ATS)/bahan habis pakai, (ii) Rapat-rapat, (iii) Transpor/perjalanan dinas, (iv) Penilaian, (v) Daya dan jasa, (vi) Pemeliharaan sarana dan prasarana, (vii) Pendukung pembinaan siswa.

 ATS/bahan habis pakai
Biaya ATS meliputi biaya minimal bagi seluruh pengeluaran sekolah untuk alat tulis yang dibutuhkan untuk pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran. ATS untuk pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran mencakup: pensil, pena, toner/tinta printer, tinta stempel, penghapus pensil, penghapus tinta, buku tulis, buku administrasi, buku polio, kertas HVS, kertas karbon, penggaris, amplop, stepler kecil dan isi, stepler besar dan isi, pemotong/cutter, gunting, lem, lakban, selotip, kotak P3K dan isi, set alat jahit, tali rapia, buku raport siswa, buku rencana pembelajaran, buku absen, buku nilai, karton manila, kapur tulis, penghapus papan tulis, penggaris papan tulis, bahan praktikum IPA (SD s/d SMA), bahan praktikum IPS (SMP dan SMA), bahan praktikum bahasa (SMP dan SMA), bahan praktikum komputer (SD s/d SMA), bahan praktikum ketrampilan (SMP dan SMA) kartu anggota perpustakaan, kartu buku, foto copy, kertas warna, cat poster, spidol

 Rapat-rapat
Biaya rapat adalah biaya minimal yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan rapat-rapat bagi keperluan sekolah. Rapat-rapat ini meliputi rapat penerimaan siswa baru, rapat evaluasi semester siswa, rapat kenaikan kelas, rapat kelulusan, rapat pemecahan masalah, rapat koordinasi, rapat wali murid.

 Transpor/perjalanan dinas
Biaya transpor/perjalanan dinas adalah biaya yang dikeluarkan untuk berbagai keperluan dinas baik dalam kota maupun luar kota.

 Penilaian
Biaya penilaian mencakup berbagai biaya minimal yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan ujian dan evaluasi siswa, yaitu: ulangan umum kelas I s/d III, ujian akhir tertulis, penyusunan soal UAS, penyusunan soal ulangan umum.

 Daya dan jasa
Biaya daya dan jasa adalah biaya minimal untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah, mencakup biaya listrik, telepon dan air.

 Pemeliharaan sarana dan prasarana
Biaya pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah adalah biaya minimal untuk mempertahankan kualitas sekolah agar layak digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar yaitu mencakup bahan dan alat kebersihan, pengecatan gedung/pagar, penggantian genteng yang rusak, perbaikan atau penggantian kunci, pemeliharaan meubel, pemeliharaan peralatan.

 Pendukung pembinaan siswa
Biaya pendukung pembinaan siswa adalah biaya minimal untuk menyelenggarakan kegiatan pembinaan yang mencakup Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Unit Kesehatan Sekolah (UKS), pembinaan prestasi olah raga, pembinaan prestasi kesenian, cerdas-cermat, perpisahan kelas terakhir, dan pembinaan kegiatan keagamaan

UU BHP "kebablasan"

Penyelenggaraan Pendidikan : BHP, Undang-undang yang "Kebablasan"

Kompas - Senin, 9 Februari 2009 | 01:05 WIB

Satu kata terlewat dalam sebuah undang-undang akan fatal akibatnya. Dampak inilah yang dialami Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau UU BHP.

UU BHP hingga kini menimbulkan kontroversial dan banyak pihak yang menolaknya. UU tersebut dituding mengarahkan sistem pendidikan pada komersialisme dan membuat biaya pendidikan semakin mahal.

Di sisi lain, pemerintah membantah jiwa korporasi lantaran BHP bersifat nirlaba. Mereka menyangkal pula niatan lepas tangan dari pembiayaan pendidikan karena akan membiayai wajib pendidikan dasar dan membatasi pungutan maksimal dari masyarakat hanya sepertiga dari biaya operasional.

Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berbunyi, ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Pasal itulah yang menjadi pegangan lahirnya UU BHP. Namun, landasan tersebut sendiri ternyata produk ”keseleo”.

”Waktu kami membahas RUU BHP—kini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan—diakui oleh yang ikut terlibat di dalam pembuatan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kata-kata tersebut agak ’kebablasan’ karena disebut hanya satuan pendidikan saja. Bukannya untuk satuan pendidikan tinggi dan tidak pula dikunci hanya untuk negeri,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam diskusi terbatas bertajuk ”Implikasi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan” yang berlangsung di Harian Kompas, Kamis (5/2). Pembicara lainnya adalah Ketua Tim Perumus sekaligus anggota Komisi X DPR, Anwar Arifin, pengamat pendidikan Darmaningtyas, dan pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam.

Masalah timbul saat UU Sisdiknas harus dijabarkan. Sudah terbayangkan betapa repotnya jika satuan pendidikan yang jumlahnya sekitar 250.000 sekolah dan madrasah harus mengikuti aturan itu. Padahal, mulanya hanya untuk pendidikan tinggi negeri saja agar mempunyai otonomi dan koridor. ”Kalau sudah dikatakan hanya satuan pendidikan tinggi, itu sudah aman. Kita tidak akan pernah membayangkan memasukkan pendidikan dasar dan menengah untuk ber-BHP. Karakteristiknya juga berbeda sama sekali dengan perguruan tinggi,” ujarnya.

Beli kertas saja repot

Ide dasar lahirnya UU BHP tidak terlepas dari kesemrawutan dan prosedur penganggaran di perguruan tinggi negeri.

Sebelum tahun 1999, perguruan tinggi negeri terkukung dengan model kerja birokrasi. Cara penganggaran terpusat. ”Sederhananya, untuk membeli kertas pun yang menentukan harus Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan dana tidak bisa dalam bentuk blockgrant. Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika perguruan tinggi, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat,” ujar Fasli.

Permasalahan lainnya terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membuat para rektor sakit kepala. Penerimaan yang merupakan PNBP, seperti dari mahasiswa, disetorkan ke kas negara, kemudian perguruan tingi mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Pembayaran honor untuk dosen yang mengajar atau menguji skripsi mahasiswa bisa terlambat tiga bulan.

Fasli menambahkan, persoalan administrasi PNBP kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran rektor bersedia berisiko masuk bui daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa.

Pemerintah berupaya mencari dasar hukum sehingga penyelenggaraan perguruan tinggi tidak terjerat jalur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit.

Salah satu alternatif yang terpikirkan ialah mengalihkan perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Ahli hukum dan kebijakan publik pun berdebat.

Sebagai jalan keluar dibuat peraturan pemerintah khusus badan hukum milik negara (BHMN). Fasli mengakui bahwa BHMN sebetulnya berbenturan dengan perundang-undangan keuangan karena tidak ada dasarnya.

Semangatnya lebih pada memberikan otonomi kepada perguruan tinggi yang selama ini ”tertindas”. Belakangan, kebebasan BHMN tersebut dinilai kebablasan dan dianggap perlu membuat koridor. Kelahiran UU Sisdiknas sendiri telah memberikan restu terhadap pengaturan satuan pendidikan yang lebih jelas.

Nasib persekolahan

Lantas bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah dengan sahnya UU BHP tersebut? Implikasi UU BHP justru sangat luas di jenjang pendidikan ini. Pemerintah sendiri, menurut Fasli, menyadari dan mencari cara agar satuan pendidikan dasar dan menengah tidak terlalu mudah ber-BHP.

Dibuatlah standar sangat tinggi agar sekolah dapat ber-BHP yakni memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP) dan berakreditasi A. Saat ini, belum ada sekolah yang memenuhi standar itu. ”Sebenarnya, intinya cuma kita memasukkan dalam UU itu karena perintah dari UU Sisdiknas,” ujarnya.

Salah satu peserta aktif diskusi, Lodi Paat dari Koalisi pendidikan, mengatakan, persoalan tidak sesederhana itu. UU BHP seakan dipaksakan ada. Ia menilai undang-undang tersebut tidak lepas dari ”agenda” neoliberalisme.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menuding, undang-undang tersebut hanya memberi tempat kepada orang kaya atau siswa pintar. ”Siswa miskin dan tidak terlalu pintar tidak mendapat tempat dan tidak diperhatikan,” ujarnya.

Direktur Pelaksana Yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Tunggul Siagian berpendapat bahwa tidak ada semangat pendidikan dalam UU BHP. Undang-undang tersebut dipandang terlalu mencampuri ”urusan dalam negeri” sekolah. Kehadiran UU BHP juga ditanggapi pesimistis oleh operator pendidikan di lapangan.

”Banyak UU pendidikan yang dilahirkan nyatanya tidak berpengaruh apa-apa pada jalannya sekolah,” ujarnya.

Pudentia, penasihat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat, mengatakan bahwa UU BHP mematikan sekolah swasta.

Kalau disebut-sebut sebelumnya UU Sisdiknas mempunyai ”lubang” lantaran tidak membedakan satuan pendidikan calon BHP, tampaknya UU BHP malah menggali lebih dalam ”lubang” yang ada. Lubang yang dapat mengubur pendidikan murah di Tanah Air.

UU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pengantar
Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan melalui undang-undang berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 dan ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989.
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang ;
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ;
3. Sistem pendidikkan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional ;
4. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya;
5. Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditempatkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran;
6. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;
7. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan;
8. Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik;
9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar;
10. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana, dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
11. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional.

Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
Pasal 2

Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.

Pasal 4

Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Bab III. Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan
Pasal 5

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk nemperoleh pendidikan.

Pasal 6

Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.

Pasal 7

Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 8

1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab IV. Satuan, Jalur, dan Jenis Pendidikan
Pasal 9

1. Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan bersinambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan sejenis.

Pasal 10

1. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.
2. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan.
3. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
4. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

1. Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
2. Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat- tingkat akhir masa pendidikan.
3. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.
4. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
5. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Depatemen Pemerintah atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
6. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
7. Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
8. Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.
9. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab V. Jenjang Pendidikan

Bagian Kesatu Umum

Pasal 12

1. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah.
3. Syarat-syarat dan tata cara pendirian serta bentuk satuan, lama pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Pendidikan Dasar

Pasal 13

1. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
2. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, bentuk satuan, lama pendidikan dasar, dan penyelenggaraan pendidikan dasar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

1. Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendidikan dasar.
2. Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
3. Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Pendidikan Menengah

Pasal 15

1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan.
3. Lulusan pendidikan menengah yang memenuhi persyaratan berhak melanjutkan pendidikan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Pendidikan Tinggi

Pasal 16

1. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutkan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyakarat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
2. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
3. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu.
4. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
5. Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu.
6. Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
7. Unversitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
8. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, struktur perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

1. Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
2. Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/ atau profesional.
3. Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.

Pasal 18

1. Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional.
2. Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
3. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan.
4. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.
5. Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
6. Jenis gelar dan sebutan, syarat-syarat dan tata cara pemberian, perlindungan dan penggunaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

1. Gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan.
2. Penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 20

Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh dari perguruan tinggi di luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap ataupun dalam bentuk singkatan.

Pasal 21

1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor.
2. Pengangkatan guru besar atau profesor sebagai jabatan akademik didasarkan atas kemampuan dan prestasi akademik atau keilmuan tertentu.
3. Syarat-syarat dan tata cara pengangkatan termasuk penggunaan sebutan guru besar atau profesor ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
2. Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab VI. Peserta Didik
Pasal 23

1. Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 24

Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut:

1. mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
2. mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan;
3. mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
4. pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki;
5. memperoleh penilaian hasil belajarnya;
6. menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan;
7. mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.

Pasal 25

1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk
1. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. mematuhi semua peraturan yang berlaku;
3. menghormati tenaga kependidikan;
4. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 26

Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing- masing.

Bab VII. Tenaga Kependidikan
Pasal 27

1. Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
2. Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
3. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.

Pasal 28

1. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.
2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
3. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

1. Untuk kepentingan pembangunan nasional, Pemerintah dapat mewajibkan warga negara Republik Indonesia atau meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu menjadi tenaga pendidik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak- hak berikut:

1. memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial :
1. tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri;
2. Pemerintah dapat memberi tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu;
3. tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan/perorangan yang bertanggung jawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan;
2. memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja;
3. memperoleh perlindungan hukum dalam melakukan tugasnya;
4. memperoleh penghargaan seuai dengan darma baktinya;
5. menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya.

Pasal 31

Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk :

1. membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. menjunjung tinggi kebudayaan bangsa;
3. melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian;
4. meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa;
5. menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pasal 32

1. Kedudukan dan penghargaan bagi tenaga kependidikan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasinya.
2. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Pemerintah.
3. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Bab VIII. Sumber Daya Pendidikan
Pasal 33

Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan/atau keluarga peserta didik.

Pasal 34

1. Buku pelajaran yang digunakan dalam pendidikan jalur pendidikan sekolah disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Buku pelajaran dapat diterbitkan oleh Pemerintah ataupun swasta.

Pasal 35

Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar.

Pasal 36

1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan.
3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bab IX Kurikulum
Pasal 37

Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.

Pasal 38

1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.

Pasal 39

1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat :
1. pendidikan Pancasila;
2. pendidikan agama;
3. pendidikan kewarganegaraan.
3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang :
1. pendidikan Pancasila;
2. pendidikan agama;
3. pendidikan kewarganegaraan;
4. bahasa Indonesia;
5. membaca dan menulis;
6. matematika (termasuk berhitung);
7. pengantar sains dan teknologi;
8. ilmu bumi;
9. sejarah nasional dan sejarah umum;
10. kerajinan tangan dan kesenian;
11. pendidikan jasmani dan kesehatan;
12. menggambar; serta
13. bahasa Inggris.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Bab X. Hari Belajar dan Libur Sekolah
Pasal 40

1. Jumlah sekurang-kurangnya hari belajar dalam 1 (satu) tahun untuk setiap satuan pendidikan diatur oleh Menteri.
2. Hari-hari libur untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Menteri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan agama, dan faktor musim.
3. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat mengatur hari-hari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Bab XI. Bahasa Pengantar
Pasal 41

Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia.

Pasal 42

1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

Bab XII. Penilaian
Pasal 43

Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian.

Pasal 44

Pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional.

Pasal 45

Secara berkala dan berkelanjutan Pemerintah melakukan penilaian terhadap kurikulum serta sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.

Pasal 46

1. Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, Pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala.
2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka.

Bab XIII. Peranserta Masyarakat
Pasal 47

1. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
2. Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
3. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab XIV. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
Pasal 48

1. Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenaan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.
2. Pembentukan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh Presiden.

Bab XV. Pengelolaan
Pasal 49

Pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri.

Pasal 50

Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang dislenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri dan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 51

Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Bab XVI. Pengawasan
Pasal 52

Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 53

Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

Bab XVII. Ketentuan Lain-lain
Pasal 54

1. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri khusus bagi peserta didik warga negara adalah bagian dari sistem pendidikan nasional.
2. Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional.
3. Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab XVIII. Ketentuan Pidana
Pasal 55

1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 18 (delapan belas) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.

Pasal 56

1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 29 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.

Bab XIX. Ketentuan Peralihan
Pasal 57

1. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.
Bab XX. Ketentuan Penutup
Pasal 58

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini,
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 59

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diumumkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UU guru dan Dosen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang :

a. Bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;

c. Bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada , huruf a, sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang berrnartabat;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang­-undang tentang Guru dan Dosen;



Mengingat :

1. Pasal 20, Pasal 22 d, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);



Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.



BAB I

KETENTUAN UMUM



Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, tek:nologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

5. Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal.

6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalarn setiap jenjang dan jenis pendidikan.

7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen clan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan scsuai dengan peraturan perundang-undangan.

9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.

10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.

12. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.

14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.

15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dann mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.

17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.

18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

19. Pemerintah adalah pemerintah pusat.

20. Pemerirltah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.



BAB II

KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN



Pasal 2

(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.



Pasal 3

(1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.



Pasal 4

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.



Pasal 5

Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.



Pasal 6

Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.



BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS



Pasal 7

(1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;

b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

c. Kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan. sesuai dengan bidang tugas;

e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;

f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;

g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.



BAB IV

GURU



Bagian Kesatu

Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi



Pasal 8

Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.



Pasal 9

Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.



Pasal 10

(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 11

(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.

(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh pergunia.n tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 12

Setiap orarig yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuari pendidikan tertentu.



Pasal 13

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban



Pasal 14

(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

a. Mernperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;

e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk merrunjang kelancaran tugas keprofesionalan;

f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/ atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-­undangan;

g. Memperoleh rasa aman clan jaminan keselarnatan dalam melaksanakan tugas;

h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;

i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;

j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan / atau

k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 15

(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengari peraturan perundang-undangan.

(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.



Pasal 16

(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.

(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1(satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaracz pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

(4) Ketentua.n lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 17

(1) Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.



Pasal 18

(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.

(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan. kualifikasi yang sama.

(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur derigan Peraturan Pemerintah.



Pasal 19

(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalarn bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa dan penghargaan bagi guru, serta kernudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah naenjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 20

Dalam rnelaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban :

a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadernik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.



Bagian Ketiga

Wajib Kerja dan Ikatan Dinas



Pasal 21

(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik clan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 22

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 23

(1) Pemerintah mengembangkan sistem pend.idikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.

(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hams mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan bertaraf internasional, clan pendidikan berbasis keunggulan lokal.



Bagian Keempat

Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Peniberhentian



Pasal 24

(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.

(3) Pernerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.

(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalarn jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.



Pasal 25

(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-­undangan.

(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.



Pasal 26

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah dacrah dapat ditempatkan pada jabatan struktural.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 27

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.



Pasal 28

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi.

(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan.

(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pernindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), clan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 29

(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi. kenaikan. panglcat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1(satu) kali, dan perlinclungan dalarn pelaksanaan tugas.

(2) Guru yang. diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit selama 2 (dua) tahun.

(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah tugas setelah terseciia guru pengganti.

(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 30

(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:

a. Meninggal dunia;

b. Mencapai batas usia pensiun;

c. Atas permintaan sendiri;

d. Sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan; atau

e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.

(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:

a. Melanggar sumpah dan janji jabatan;

b. Melariggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau

c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b d.ilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun.

(5) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.



Pasal 31

(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.

(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.



Bagian Kelima

Pembinaan dan Pengembangan



Pasal 32

(1) Pembinaan dan pengembangan guru meaiputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.

(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan furigsional.

(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.



Pasal 33

Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru paaa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.



Pasal 34

(1) Pemerintah dan pcmerintah daerah, wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademi dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.



Pasal 35

(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.

(2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Keenam

Penghargaan



Pasal 36

(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.

(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.



Pasal 37

(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, rnasyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.

(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.

(3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagarn, dan/atau bentuk penghargaan lain.

(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari besar lain.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.



Bagian Ketujuh

Perlindungan



Pasal 39

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindurrgan hukum, perlindungan profesi, serta perlin.dungan keselamatan dan kesehatan kerja.

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuann tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang­undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.



Bagian Kedelapan

Cuti

Pasal 40

(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kesembilan

Organisasi Profesi dan Kode Etik



Pasal 41

(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen.

(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kornpetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.

(4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.



Pasal 42

Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:

a. Menetapkan dan mcnegakkan kode etik guru;

b. Memberikan bantuan hukum kepada guru;

c. Memberikan perlindungan profesi guru;

d. Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan

e. Memajukan pendidikan nasional.



Pasal 43

(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.

(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.



Pasal 44

(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.

(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.

(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dirnaksud pada ayat (1). dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.

(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, clan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.

(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).



BAB V

DOSEN



Bagian Kesatu

Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik



Pasal 45

Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kornpetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.



Pasal 46

(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.

(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:

a. Lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan

b. Lulusan program doktor untuk program pascasarjana.

(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.

(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan petididikan tinggi.



Pasal 47

(1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;

b. Memiliki jabatan akademik sekurang-k-urangnya asisten ahli; dan

c. Lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 48

(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.

(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, Iektor, lektor kepala, dan profesor.

(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor.

(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 49

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.

(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.

(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-­undangan.



Pasal 50

(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.

(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi.

(3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, clan pengalaman yang dimiliki.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban



Pasal 51

(5) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:

a. peroleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada. masyarakat;

e. Memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, clan otonomi keilmuan;

f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian clan menentukan kelulusan peserta didik; dan

g. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalarn organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 52

(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan olelz masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian. kerja atau kesepakatan kerja bersama.



Pasal 53

(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.

(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 54

(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.



Pasal 55

(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.

(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1(satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belarija negara.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 56

(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 57

(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bent:uk kesejahteraan lain.

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 58

Dosen yang diangkat olch penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 59

(1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pernerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.



Pasal 60

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:

a. Melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;

b. Merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

c. Meningka.tkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, clan seni;

d. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik ,tertentu, atau latar belakang sosioekonomi pescrta didik dalam pembelajaran;

e. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

f. Memelihara dan memupuk persatuan clan kesatuan bangsa.



Bagian Ketiga

Wajib Kerja dan Ikatan Dinas



Pasal 61

(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 62

(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional, atau untuk memenuhi kepentingan pembangunan daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola i.katan dinas bagi calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Keempat

Pengangkafian, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian



Pasal 63

(1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan, tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara' pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang tiersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatari kerja bersama.

(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.



Pasal 64

(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan, struktural sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 65

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai d.osen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.



Pasal 66

Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.



Pasal 67

(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena:

a. Meninggal dunia;

b. Mencapai batas usia pensiun;

c. Atas permintaan sendiri;

d. Tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan karen.a sakit jasmani dan/atau rohani; atau

e. Berakhirnya perjanjian kerja atau. kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.

(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena:

a. Melanggar sumpah dan janji jabatan;

b. Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau

c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.

(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.

(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.



Pasal 68

(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.

(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.



Bagian Kelima

Pembinaan dan Pengembangan



Pasal 69

(1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.

(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat 1).

(4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.



Pasal 70

Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.





Pasal 71

(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen.

(3) Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningka.tkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan J atau masyarakat.



Pasal 72

(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.

(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang­kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester dan sebariyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh seti:a'p satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Bagian Keenam

Penghargaan



Pasal 73

(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus . berhak memperoleh penghargaan.

(2) Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.



Pasal 74

(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi keiam.uan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.

(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.

(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.

(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperin.gati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaixnana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Ketujuh

Perlindungan



Pasal 75

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan clan kesehatan kerja. .

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.

(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.

(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang­undangan.



Bagian Kedelapan

Cuti



Pasal 76

(1) Dosen rnemperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti seba.gaimana dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VI

SANKSI



Pasal 77

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Teguran;

b. Peringatan tertulis;

c. Penundaan pemberian hak guru;

d. Penurunan pangkat;

e. Pemberhentian dengan hormat; atau

f. Pernberhentian tidak dengan hormat.

(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.

(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode elik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.

(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dirnaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.



Pasal 78

(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

(2) Sanksi sebagaimana d maksud. pada ayat (1) berupa:

a. Teguran;

b. Peringatan tertulis;

c. Penundaan pemberian hak dosen;

d. Penurunan pangkat dan jabatan akademik;

e. Pemberhentian dengan hormat; atau

f. Pemberhentian tidak dengan hormat.

(3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan pcrjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.

(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.



Pasal 79

(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71 dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:

a. Teguran;

b. Peringatan tertulis;

c. Pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan; atau

d. pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.



BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 80

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini :

a. Guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki -sertifikat pendidik.

b. Dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.

(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.



Pasal 81

Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang­Undang ini.



BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP



Pasal 82

(1) Pemerintah rnulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.

(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan scrtifikat, pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang­Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik darn sertiGkatt pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.



Pasal 83

Semua peraturan perundang-undangan yang diperYukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat­lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang­Undang ini.



Pasal 84

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember ;2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA AD INTERIM

ttd

PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA





LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157